JUJUR TETAP LEBIH BAIK
Hidup di era serba modern seperti ini kita memang
harus giat dalam bekerja. Namun bagi seorang lelaki setengah baya yang tidak
lulus SD sepertiku rasanya cukup sulit untuk mencari pekerjaan dalam kategori
layak. 30 tahun lebih aku bekerja sebagai kuli bangunan dengan bayaran yang
pas-pasan dan pekerjaan yang cukup menyita tenaga. Saya memiliki dua orang
anak, yang paling besar sebentar lagi akan lulus SMU dan yang kecil baru mau
masuk SD. Namaku Pardjan, sejak kecil aku sudah bekerja sebagai kuli bangunan, dan
pekerjaan halal itulah yang dapat mencukupi kebutuhan keluargaku selama ini.
Aku dan istri bertekad untuk menguliahkan anak pertamaku yang bernama Yuli
supaya dia bisa merubah nasib keluarga kami.
Aku menjalani kehidupan dengan sederhana, yang
penting sudah cukup untuk makan dan menyekolahkan anak-anak. Yang sekarang aku
dan istri pikirkan adalah bagaimana caranya untuk menabung bagi kelanjutan
sekolah anak pertamaku. Aku dan istri benar-benar bekerja keras. Semuanya demi
masa depan anak.
Seorang teman kerja menyarankan agar aku mangambil
sedikit uang gaji para pekerja, aku ditugaskan sebagai mandor dipekerjaanku
ini. Ada 20 pekerja dan aku diminta untuk mengambil 1000 rupiah perorang setiap
harinya. 20 ribu perhati akan menjadi uang tambahan bagiku. Sesaat aku
berpikir, aku bisa menabung 600 ribu perbulan dari uang tersebut. Namun, hati
kecilku berkata lain, mereka bekerja membanting tulang, memeras keringat demi
menghidupi keluarga mereka juga. Sungguh egoisnya diriku jika aku melakukan hal
tersebut. Pekerjaanku yang halal akan menjadi haram karena setitik noda itu. Aku
putuskan untuk tidak melakukan perbuatan tercela seperti itu. Anak dan
keluargaku akan memakan uang haram yang bukan milik mereka.
Hari ini aku pergi ke toko bangunan untuk membeli
segala keperluan dalam membangun. Bos memang sudah sangat percaya kepadaku
untuk masalah belanja seperti ini.
“Saya bisa lho pak diajak kerja sama untuk
mengotak-atik angka.” Ujar penjual bahan-bahan bangun. Aku sungguh tak mengerti
maksud dari perkataan beliau.
“Maksudnya apa mas ? saya nggak ngerti.” Jawabku.
“Saya sering sekali dimintai tolong orang-orang yang
belanja di sini untuk mengubah angkanya, contohnya harga yang seharusnya 50
ribu bisa saya tulis 60 ribu.”
“Tapi maaf mas, saya sudah diberi kepercayaan oleh
bos. Ya saya harus mengatakan yang sebenar-benarnya. Uang itu emang enak mas,
tapi akan menjadi petaka bila uang itu diperoleh dari kecurangan. Dalam agama
saya uang tersebut haram hukumnya. Kasihan anak istri saya mas kalau makan uang
haram, insyaallah Allah akan memberikan rezeki apabila kita mau berusaha dan
berdoa.”
“Ya sudahlah pak kalau tidak mau ditolong.” Ujar penjual
tersebut sembari pergi.
Bukankah rezeki, jodoh, maut sudah ditentukan oleh
Allah. Lalu kenapa kita harus berbuat curang ? Korupsi ? mengambil sesuatu yang
bukan hak kita. Tidak akan berkah. Dalam hidup yang singkat ini bukankah
alangkah indah bila dipenuhi dengan kebaikan, bukan malah menambah masalah
dunia dan akhirat pastinya. Jadi sebagai muslim yang baik, kita harus bersikap
jujur dalam berbagai hal. Itu adalah modal kita untuk kehidupan di alam kekal
nantinya. Mari mulai sekarang kita perbaiki generasi bangsa. Yang katanya berpendidikan
tinggi tapi tak bermoral, dengan sombongnya memakan uang yang bukan haknya. Benar-benar
tragis nasib bangsa ini. Yang ada hanya pikiran untuk menyenangkan diri dan
keluarga walaupun dengan uang haram. Sungguh mengenaskan.
SOLO
SOLO
Hari itu tepat tanggal 25 Juni 2012 jam 6 pagi, aku bersama
Ayahku berangkat menuju kota Solo. Oh ya, nama saya Erma, lengkapnya Erma
Yuliana. Umur saya masih belum genap 18 tahun kala itu, baru saja lulus dari
salah satu SMK Negeri di kotaku, Purwodadi. Mencoba mencari peruntungan di kota
Solo. Ini kali kedua aku pergi ke Solo. Sebelumnya hanya sekedar kunjungan
industri saja. Pagi itu aku dan Ayah langsung menuju ke kantor Dinas Tenaga
Kerja kota Solo yang letaknya kalau tidak salah berada di daerah Sri Wedari.
Menemui salah seorang teman Ayah yang ingin membantu mencarikan kerja. Ini
pertama kalinya aku melihat Solo lebih dekat. Tidak jauh beda dengan Semarang
ataupun Jakarta, kota yang sudah tidak asing bagiku. Jalan yang tertib lalu
lintas dan ramai. Namun Solo lebih tampak asri, bersih, teratur, dan tentunya
masyarakat yang cukup ramah dan sopan. Hari itu, aku melanjutkan pejalanan ke
Mojosongo, salah satu kelurahan di selatan Solo. Di sana ada rumah teman Ayah
yang akan kutempati beberapa waktu. Sepanjang jalan, aku biasa saja. Pemandangan
yang sama di setiap kota-kota besar. Sampai di rumah teman Ayah, semua masih
terlihat biasa saja.
Keesokan harinya, aku di antarkan Ayah pergi ke Colo madu
untuk interview, tempatnya cukup jauh dari Mojosongo. Lalu lintas yang juga
cukup padat. Karena alasan yang cukup jauh itulah, akhirnya aku batalkan
bekerja di Colo madu. Sepulang dari Colomadu aku diajak anak teman Ayah untuk
menikmati kota Solo di sore hari. Hari itu, baru aku sadari. Solo begitu
mempesona, dengan keramahtamahan dan kesopanan setiap penduduknya. Tutur bahasa
yang baik dan wajah yang menurutku sangat lembut. Mungkin itu yang di bilang
“putri solo”. Halus perkataannya, sopan tingkah lakunya, bersahaja dan yang
pasti lemah lembut. Semua terlihat mempesona.
Melihat alun-alun utara yang ramai, namun masih sangat
berbudaya. Semua terlihat sama. Modernisasi dan kebudayaan yang mengakar.
Terlihat begitu serasi. Atau ramainya Manahan pada pagi hari, memanjakan hasrat
untuk berbelanja. Atau menikmati Tahu Kupat, Bakso Bakar yang bikin ketagihan.
Di Solo aku benar-benar belajar hidup sendiri, mengelola
keuangan sepintar mungkin. Dan Solo memang benar-benar membantu. Solo sangat
bersahabat bagi orang-orang sepertiku yang hidup pas-pasan. Solo menawarkan
satu hal yang murah namun berkualitas. Makanan contohnya, uang dua ribu sudah
sangat kenyang. Banyak juga toko-toko baju dan perlengkapan lainnya sangat
relatif terjangkau.
Atau bicara tentang Sekaten. Wahana-wahana bermain yang
relatif murah dan seru. Banyak oleh-oleh yang bisa kita beli untuk oleh-oleh. Solo
menawarkan segala hal yang kita mau. Solo begitu bersahabat dengan yang mau
bersahabat pula dengannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
0 comments